“Budaya Scroll: Bagaimana Media Sosial Membentuk Cara Kita Hidup dan Berpikir”

 

                                                   
 

                                                     

Nama: Lorensius Jefri Damar 

Nim   : 243300020024

Dosen Pengampuh: Serepina Tiur Maida, S, Sos.M.Pd.M.I.Kom


“Budaya Scroll: Bagaimana Media Sosial Membentuk Cara Kita Hidup dan Berpikir”

Pengantar

Setiap hari, tanpa sadar kita menggeser layar ponsel ke atas, scroll, scroll, dan scroll. Aktivitas ini sudah jadi kebiasaan umum, bahkan terasa seperti bagian dari hidup. Dari bangun tidur hingga sebelum tidur lagi, jari kita hampir tak lepas dari media sosial. Tapi pernahkah kita bertanya, bagaimana kebiasaan ini sebenarnya memengaruhi cara kita hidup dan berpikir?
Media sosial bukan hanya tempat berbagi momen, tapi juga ruang di mana opini, emosi, dan nilai budaya tersebar dengan cepat. Apa yang kita lihat dan konsumsi setiap hari di layar bisa mengubah pandangan, membentuk selera, bahkan memengaruhi cara kita menilai diri sendiri dan orang lain. Dalam budaya "scroll", kita tak hanya menjadi pengguna, tapi juga bagian dari arus informasi yang terus bergerak.
Tulisan ini akan mengajak kamu melihat lebih dalam bagaimana media sosial membentuk pola pikir, kebiasaan, dan budaya kita sehari-hari. Lewat sudut pandang antropologi, kita bisa memahami bahwa apa yang tampak sederhana, seperti scroll di layar. sebenarnya punya dampak besar dalam cara kita menjalani hidup modern.



Seutas reflektif ?

Apa yang kamu lakukan saat bangun tidur? Buka Instagram? Cek notifikasi WhatsApp? Scroll TikTok? Kalau iya, kamu tidak sendirian. Kebiasaan ini sudah jadi bagian dari kehidupan banyak orang. Tanpa kita sadari, media sosial kini jadi "teman pertama" saat membuka mata, bahkan sebelum kita bicara dengan orang di sekitar.
Media sosial memang seru dan menghibur. Tapi lebih dari itu, ia mencerminkan bagaimana manusia modern berinteraksi, berpikir, dan membentuk identitas. Apa yang kita unggah, sukai, atau komentari, semuanya menunjukkan nilai, keinginan, dan cara kita memandang dunia. Setiap like dan share adalah bagian dari budaya digital yang terus berkembang.
Dulu, budaya hanya berkembang lewat interaksi langsung atau tradisi. Sekarang, ia hidup juga lewat layar cepat, luas, dan terus berubah. Media sosial bukan sekadar alat hiburan, tapi ruang budaya baru tempat manusia mengekspresikan diri, berkomunikasi, dan membentuk makna dalam hidupnya.


 
Antropologi: Ilmu tentang Manusia dan Budayanya

Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia secara menyeluruh, baik dari segi fisik, sosial, maupun budayanya. Antropolog mencoba memahami bagaimana manusia hidup, berpikir, dan berinteraksi dalam masyarakat. Ilmu ini tidak hanya fokus pada masa lalu atau suku-suku terpencil, tapi juga relevan dalam melihat kehidupan modern saat ini.

Salah satu hal penting dalam antropologi adalah budaya. Budaya mencakup segala hal yang diciptakan manusia, sebagai berikut: nilai, norma, kebiasaan, bahasa, simbol, dan cara hidup. Semua ini membentuk identitas suatu kelompok. Ketika cara hidup manusia berubah, budaya pun ikut berubah, termasuk saat dunia kita bergeser ke dunia digital.
Di sinilah antropologi menjadi sangat penting untuk memahami media sosial. Media sosial bukan cuma tempat hiburan atau komunikasi, tapi juga ruang budaya baru. Di sana kita bisa melihat bagaimana orang mengekspresikan diri, membentuk kelompok, mengikuti tren, dan menciptakan simbol baru. Semua itu adalah bagian dari budaya digital.
Contohnya, penggunaan emoji, tren TikTok, gaya bahasa di Twitter, atau cara orang membangun "persona" di Instagram adalah bentuk baru dari budaya yang bisa dikaji secara antropologis. Kita bisa belajar banyak tentang manusia modern hanya dengan mengamati apa yang mereka bagikan dan bicarakan di media sosial.
Jadi, ketika kita berbicara tentang media sosial, sebenarnya kita juga sedang berbicara tentang budaya manusia hari ini. Dengan memahami antropologi, kita jadi lebih peka melihat bahwa aktivitas online bukan sekadar kebiasaan, tapi cerminan dari siapa kita dan bagaimana kita hidup di era digital ini.


Media Sosial sebagai Cermin Budaya

Media sosial kini bukan hanya tempat berbagi foto atau kabar, tapi juga menjadi cermin budaya kita sehari-hari. Apa yang kita lihat dan ikuti di platform seperti Instagram, TikTok, atau Twitter perlahan membentuk cara kita berpakaian, berbicara, berpikir, bahkan menjalani kehidupan spiritual. Dalam banyak hal, media sosial seperti cermin yang memantulkan nilai-nilai dan kebiasaan yang sedang tren di masyarakat.

Contohnya, tren berpakaian “clean girl aesthetic” yang viral di Instagram dan TikTok membuat banyak orang mulai mengenakan pakaian warna netral, makeup minimalis, dan aksesori sederhana. Tak hanya gaya, cara berbicara pun ikut berubah karena meme dan bahasa gaul di media sosial, seperti penggunaan kata "healing", "self love", atau "gaslighting", yang bahkan sering disalahartikan tapi tetap populer digunakan.

Media sosial juga memengaruhi cara kita berpikir. Budaya FOMO (Fear of Missing Out) mendorong orang untuk ikut-ikutan tren, meski belum tentu sesuai dengan nilai pribadi. Banyak orang merasa harus traveling, ikut seminar, atau membeli barang tertentu hanya agar bisa posting dan terlihat "update". Tekanan sosial ini tanpa sadar membentuk pola pikir dan keputusan sehari-hari.
Bahkan dalam hal spiritual, kita bisa melihat bagaimana media sosial membentuk cara orang berdoa atau mengekspresikan keimanan. Doa-doa pendek yang aesthetic dengan latar alam atau musik menenangkan banyak beredar, dan sering kali lebih bertujuan untuk dilihat daripada dirasakan. Ini menunjukkan bahwa media sosial tidak hanya mencerminkan budaya, tapi juga secara aktif membentuknya.

Identitas Diri di Dunia Maya

Di media sosial, banyak orang menampilkan versi terbaik dari diri mereka. Foto-foto penuh senyum, liburan mewah, tubuh ideal, dan pencapaian hebat sering mendominasi. Hal ini wajar, karena media sosial memberi kita ruang untuk memilih apa yang ingin kita tampilkan. Tapi di balik itu, ada perbedaan besar antara identitas digital dan identitas nyata seseorang.
Fenomena ini dalam antropologi dikenal sebagai “persona digital”, yaitu topeng yang kita pakai di dunia maya. Sama seperti dalam kehidupan nyata, di dunia digital pun kita membentuk citra diri agar terlihat menarik, sukses, dan bahagia. Tapi sering kali, ini tidak sepenuhnya mencerminkan kehidupan sehari-hari yang penuh tantangan, kegagalan, dan emosi yang tidak selalu indah.

Akibatnya, media sosial menjadi semacam panggung, dan kita adalah aktor yang bermain peran. Kita menyaring realita untuk terlihat sempurna, meski di balik layar bisa saja sedang merasa lelah, cemas, atau sedih. Perbedaan antara persona digital dan identitas nyata ini bisa membuat orang merasa tertekan, membandingkan diri, atau bahkan kehilangan jati diri.
Namun, memahami bahwa media sosial bukan cermin sempurna dari kenyataan bisa membantu kita lebih bijak menggunakannya. Dunia maya hanyalah satu sisi dari diri kita, bukan keseluruhan cerita. Dengan menyadari hal ini, kita bisa lebih jujur pada diri sendiri dan lebih sehat secara mental dalam bermedia sosial.

Budaya Global vs Lokal di Dunia Digital

Dunia digital membuat batas budaya menjadi semakin kabur. Lewat media sosial, budaya lokal kini bisa dikenal hingga ke penjuru dunia. Contohnya, lagu daerah seperti “Ojo Dibandingke” bisa viral dan dinyanyikan oleh orang dari berbagai negara. Kuliner seperti rendang atau sate juga sering muncul di konten-konten kuliner global dan diadopsi di berbagai negara sebagai bagian dari tren makanan eksotis.

Namun, di balik penyebaran budaya lokal yang positif itu, ada ketegangan yang muncul. Tren global yang cepat dan masif sering kali membuat budaya lokal kalah pamor. Anak muda, misalnya, lebih akrab dengan bahasa slang dari TikTok daripada bahasa daerah mereka sendiri. Akibatnya, tradisi lokal bisa mulai dilupakan dan tergeser oleh budaya populer dari luar.

Fenomena ini menunjukkan bahwa budaya global tidak selalu memperkaya, tapi juga bisa mendominasi. Nilai-nilai lokal yang khas bisa tertinggal karena dianggap kurang “kekinian” atau tidak sesuai dengan algoritma media sosial yang lebih mengangkat konten viral dari budaya Barat atau Korea, misalnya. Ini membuat pelestarian budaya lokal jadi tantangan tersendiri di era digital.

Meski begitu, bukan berarti budaya lokal tidak bisa bertahan. Justru dengan kreativitas, budaya lokal bisa dibungkus secara menarik agar relevan di dunia digital. Dengan menggabungkan unsur lokal dan tren global secara seimbang, budaya lokal bisa tetap hidup, dikenal, dan dihargai tanpa kehilangan jati dirinya.

 Penutup: Belajar dari Budaya Digital

Dari berbagai sub tema yang telah dibahas, kita bisa melihat bahwa media sosial bukan sekadar tempat berbagi informasi, tapi juga ruang budaya yang membentuk cara kita berpakaian, berbicara, berpikir, hingga membangun identitas. Dunia digital telah menjadi cermin sekaligus panggung tempat kita menampilkan siapa diri kita — atau siapa yang ingin kita tampilkan. Ini memberi peluang besar, tapi juga tantangan dalam menjaga keaslian diri dan budaya lokal.

Kita perlu lebih sadar bahwa budaya digital tidak netral. Ia membawa nilai, tren, dan tekanan yang bisa mempengaruhi cara hidup kita tanpa kita sadari. Ketika budaya lokal bisa viral, itu patut dirayakan. Tapi saat budaya global mulai menggeser akar budaya sendiri, itu jadi alarm untuk lebih selektif dan bijak dalam menyerap informasi dan tren.





                                                                                                             SUMBER

                                                     - Presentase Ibu Serepina Tiur Maida. S.Sos.M.Pd.M.I.
                                                      




Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRATIFIKASI SOSIAL

PERKAWINAN ADAT FLORES MANGGAGARAI

EVOLUASI CIRI-CIRI BIOLOGIS